Jumat lalu (11/2) aku bertandang ke rumah Probosutedjo, bersama Bang Robert dan Mba Evi. Kami datang ke rumah di Jalan Diponegoro 20, Menteng, mewawancarai adik seibu alm Pak Harto.
Probosutedjo, memang kelihatan sangat tua. Usianya 81 tahun, rambutnya sudah putih semua. Tapi aku salut...semangatnya tetap ada. Bahkan dia selalu tersenyum pada kami, walaupun pendengarannya tidak sempurna lagi. Memang, sepanjang pembicaraan kami, beberapa kali dia kurang mengerti dan akhirnya menjawab tidak nyambung dari yang kami tanyakan.
Di rumahnya, penuh berbagai perabotan. Suasananya, khas rumah orang kaya jaman baheula. Kira-kira ada 4-5 kumpulan sofa, sekaligus seperangkat meja makan di ruang tamunya yang luas, sekitar 8x10 meter. Entah berapa tepatnya, aku tidak menghitung hehe...
Alhasil, ruangan besar itu memang penuh. Terutama karena sofa-sofa itu cukup besar, berlapis kulit coklat dengan gaya klasik seperti di film-film mafia. Belum lagi, seperangkat meja makan bergaya klasik Victorian, lengkap dengan ukiran-ukiran di kursi dan mejanya. Di atas meja itu, dipenuhi berbagai buku dan majalah yang terutama tentang pertanian, bidang yang digeluti Probosutedjo di masa tuanya.
Di tengah-tengah, ada semacam tugu marmer hitam setinggi sekitar 1,5 meter dengan patung rajawali di atasnya. Entah apa maksudnya, kami sempat bertanya tapi Pak Probo, tidak menjawab dengan benar hehe...
Di sudut kanan, di depan tangga menuju lantai atas, ada piano besar berwarna putih. Lagi-lagi piano itu penuh ukiran gaya Victorian, bukan piano putih polos yang sering kita jumpai di televisi atau tempat lain. Piano dan meja makan itu seharusnya indah dan mahal, tapi sayang...usianya yang mungkin sudah tua, membuat cat-catnya mengelupas di beberapa sisi. Alhasil tidak mulus lagi, dan kurang nampak indah.
Oops..ornamen-ornamen di ruang tamu itu masih banyak. Di sela pintu-pintu kaca menuju ruangan lain dan balkon lantai dua, banyak foto-foto terpampang. Aku melihat ada dua foto besar di sudut kiri dan kanan. Satu buah foto (atau lukisan ya..) Pak Probo bersama istrinya, Ratmani. Di sana, Pak Probo memakai jas plus peci hitam sedangkan istrinya berkebaya hitam bunga-bunga. Di sudut lainnya, terpampang foto besar Alm Pak Harto dan Bu Tien Soeharto. Sedangkan di balkon, banyak terpasang foto-foto mereka semua ketika ibadah haji ke Mekkah.
Di usianya sekarang, Pak Probo memang masih segar kelihatannya. Tidak heran juga...karena sepertinya, kesehatannya selalu dicek setiap hari. Seperti waktu kami mau pulang setelah wawancara hari itu, beberapa pelayannya langsung datang membawa alat tensi darah. Entah apalagi yang dicek sesudah itu hehe...
Di halaman rumahnya, ada pintu gerbang yang dijaga dua satpam. Selain itu, banyak juga mobil diparkir di sana. Sepertinya, mobil para pegawai Pak Probo, yang mungkin terbagi antara bekerja dari rumah Diponegoro dan bekerja dari kantor-kantor resmi perusahaan keluarga Pak Probo.
Ketika hendak pulang, Pak Makiwawu, yang menemani kami sepanjang wawancara, berkata padaku “Kamu masih muda koq jerawatan? Sudah punya pacar? Mau dicarikan?”
Spontan kujawab, “Wah bapak terus terang banget, memang jerawatan nih pak...maklum gejolak kawula muda. Tapi sudah punya pacar pak hehe....”
Jumat seminggu sesudahnya, kami bertemu lagi. Kali ini, gara-gara Bang Robert minta sesi foto ulang dengan Pak Probo. Tempatnya? Di penthouse Hotel Le Meredien, hotel milik keluarga Probo. Di Lantai 21 itu, ada kamar penthouse besar yang diisi ‘gebyok’ alias rumah Jawa kuno, asli Jepara.
Jujur saja, aku terpesona. Rumah kuno yang diboyong dan dipasang lagi di tengah ibukota itu, masih asli. Apalagi, ukiran-ukirannya sangat detail baik di pintu, kusen, jendela ataupun tiang-tiang penyangganya. Kata Pak Probo, usianya sudah 300 tahun, dibeli dari seorang Lurah di Jepara. Semuanya, terbuat dari kayu jati asli...asli bahkan barangkali dari zaman Belanda belum masuk Indonesia. Wow...!!
Kamar itu tarifnya hampir US$ 4.000 per malam. Gilaaa....lebih mahal dari Bvlgari Resort Bali, kamarku yang harganya Rp 19 juta semalam atau cuma sekitar US$ 2.000 semalam.
Di dalamnya, ada dua kamar tidur yang sayangnya tidak asli. Yang dua ini, buatan yang disesuaikan dengan ‘gebyok’. Tapi ada yang menarik lainnya dari sini. ‘Gebyok’ itu punya beberapa cerita aneh-aneh, khas barang atau rumah peninggalan jaman baheula. Katanya, kebanyakan yang menginap akhirnya takut tidur sendiri di sana.
“Kamu kalau mau nginap di sini, boleh koq. Tapi tidur sendiri yaa...” kata Pak Makiwawu menawarkan.
“Wah nggak deh pak makasih hehehe...” sahutku dan Mba Evi ;p
-FeiFei-
cerita mu menarik :) sayang tidak dikupas lebih dalam
ReplyDelete