Tengah malam, dua hari lalu. Aku tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah kabar. Seorang teman, adik kelas di kampus, telah pergi mendahuluiku. Rupanya, dua tahun belakangan dia mengidap kanker. Walaupun sempat dioperasi dan dinyatakan sembuh, sel-sel ganas itu rupanya masih menggerogoti tubuhnya hingga tak sanggup lagi bertahan.
Elizabeth Yuliana, adik kelasku yang kuliah di Jurusan Psikologi, Universitas Padjadjaran, angkatan 2004. Parasnya cantik, putih dan imut.
Aku masih ingat, ketika kami mengadakan Temu Kenal Keluarga Mahasiswa Katolik (TK KMK) tahun 2004. Saat itu, aku menerima cukup banyak pesanan untuk memotretnya. Maklum saja, beberapa senior mengincar Yuli, begitu dia disapa, di ajang perkenalan yang memang diadakan tiap tahun itu.
Sepanjang perjalanan kuliah, aku tidak lagi banyak berhubungan dekat dengannya. Soalnya, kami memang beda fakultas. Dan awalnya, Yuli juga tidak terlalu tampak banyak terlibat di kegiatan KMK ataupun Mudika Jatinangor. Ketidakdekatan ini juga yang membuatku tidak mengetahui riwayat penyakitnya, sebelum kabar mengejutkan itu.
Malam tadi, misa requiem sudah dilakukan di Rumah Duka RS Dharmais Jakarta. Foto di depan peti jenazahnya, masih sama seperti Yuli yang kukenal. Cantik ketika tersenyum...
Pastor yang membawakan misa mengatakan, mungkin Yuli meninggal dalam usia cukup muda. Tetapi bukan tahun saja yang sebenarnya menjadi ukuran, namun juga hidupnya yang tidak bercela. Teman-teman Yuli, banyak berdatangan, termasuk dosen di jurusannya. Papa Yuli pun berterima kasih dan menyadari, betapa anaknya telah memberikan banyak kasih kepada orang-orang di sekelilingnya.
Yah baik Yuli, atau siapapun manusia akan menghadapNya suatu hari nanti. Ketika itu, hanya iman, hidup tidak bercela, yang berkenan bagiNya yang akan menjadi bekal memasuki pintu surga.
Jika memikirkan semua ini, setiap kepenatan dan kepusingan atas masalah-masalah dalam hidup, rasanya tak lagi berarti. Yah karena semua masalah itu tidak dibawa mati, tidak lagi kita hadapi ketika mati. Hanya kasihNya yang akan memampukan setiap insan memasuki kerajaan surga.
Jika demikian adanya, mengapa ya aku masih sering khawatir dengan segala masalah yang harus kuhadapi? Padahal ada Dia, Pribadi yang selalu mengasihiku, selalu ada bagiku, dan telah menyediakan tempatku di surga. Mengapa khawatir? Padahal, ada iman, pengharapan, dan kasih...yang tidak pernah berhenti mengalir bagiku.
-feifei-
Thursday, December 16, 2010
Wednesday, November 3, 2010
Terbius Pesona Dewata
Akhir pekan lalu, aku mendapat kesempatan liputan ke luar kota yang asyik...yeah, Bali.
Pulau Dewata itu memang masih terus membius setiap orang yang mengunjunginya, tak terkecuali Elizabeth Gilbert, penulis buku 'Eat, Pray, Love'. Buku yang laris manis itu pun, menarik Hollywood membuat film dengan judul yang sama. Pemain utamanya, Julia Robert.
Tapi bukan soal itu saja menurutku. Keindahan Bali memang luar biasa sejak dahulu. Aku masih ingat, beberapa kali menginjakkan kaki di Bali ketika masih duduk di bangku SD dan SMP. Memang waktu itu, aku masih tinggal di Lumajang, Jawa Timur. Notabene, kami sekeluarga hanya perlu menempuh 4 jam perjalanan dengan mobil ke Banyuwangi. Lalu sekitar 30 menit menyeberangi Selat Bali dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, dan merapat ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Perjalanan selanjutnya memang masih butuh waktu lagi, sekitar 3-4 jam menuju Denpasar atau Kuta. Melelahkan, tapi sekaligus menyenangkan.
Setelah terakhir kali ke Bali tahun 1999, aku pun menginjakkan kaki di Pulau Dewata ini tanggal 29 Oktober-1 November kemarin. Aku menikmati perjalanan wisata sekaligus kerja bersama rombongan wartawan pasar modal BEI. Kami pun menginap di Hotel Intercontinental, Jimbaran selama 3 hari 2 malam, sebelum akhirnya aku memperpanjang kunjungan dan menginap semalam di Bvlgari Resort, Uluwatu.
Hari pertama di Bali, kami menyantap Ayam Plengkung, yang seharusnya makanan khas Jawa Timur, bukannya Bali haha...but, it's taste good and delicious...
Sempat juga, akhirnya kami diberi waktu satu jam saja untuk berbelanja di Pabrik Kata-Kata Joger, yang sudah terkenal sejak...mungkin 15 tahun lalu. Sorenya, kami check in di Hotel Intercontinental lalu mengikuti rangkaian acara workshop yang diselenggarakan SROs dan Bapepam-LK.
Hari kedua, sangat menyenangkan. Para pengundang itu mengajak kami berwisata ke Pulau Lembongan menaiki Bali Hai Cruise. Kami pun berfoto-foto sepanjang perjalanan, bergaya bak turis asing lengkap dengan sun glasses, di dek kapal. Sebelum akhirnya, kami mulai merasakan mabuk laut dan masuk angin. Jamu Tolak Angin sachet pun jadi rebutan haha..Untungnya Myrna dan Lona membawa persediaan cukup banyak, walaupun akhirnya ludes. Tapi menyenangkan, karena aku berhasil berfoto dengan bule's baby boy
yang sangat cute.
Sepanjang di Pulau Lembongan, kami asyik berjalan-jalan di desa penghasil rumput laut. Tak ketinggalan menaiki banana boat sampai tiga kali, bersama Myrna, Dessy, dan Mba Maria Kalaij, hingga akhirnya kami "diusir" oleh pengendara boat :p Kami juga ikut snorkling, dan menaiki kayak hingga hampir ditinggalkan oleh kapal yang akan membawa kami kembali ke Pelabuhan Benoa.
Malamnya, acara bebas di Kuta pun dimulai. Kami diturunkan di Discovery Mall untuk makan malam masing-masing. Akhirnya, aku, Myrna, Melani, Lona berjalan-jalan dan berfoto di sepanjang Kartika Plaza Kuta hingga mencapai Pantai Kuta yang paling ramai di Bali. Hingga jam 12 malam, kami pun kembali ke hotel bersama rombongan bus.
Hari ketiga, kami hanya menikmati hotel bintang lima itu. Bangun di pagi hari, kami berempat mencari spot unik untuk foto-foto, termasuk di private beach Intercontinental Hotel. Sebelum akhirnya, aku, Myrna, Lona menemukan peminjaman sepeda dan kami berkeliling kompleks hotel yang luas itu. Melani, tidak ikut serta karena tidak bisa bersepeda. Aktifitas hari itu, diakhiri dengan sarapan sebelum check out dan semua berangkat ke Bandara Ngurah Rai Bali. Aku pun ikut serta, hingga akhirnya pindah rombongan bersama wartawan otomotif dan memperpanjang perjalanan dengan menginap semalam di Bvlgari Resort, Uluwatu.
Bvlgari Resort...
Aku sangat beruntung mendapat kesempatan menginap di hotel five star plus plus plus ini...Gara-gara dapat undangan launching Infiniti brand dari Nissan Motor, aku menginap semalam di kamar dengan tarif Rp 19 juta/malam wooowww....
Sesampai di sana, badanku yang sebenarnya kadung lelah setelah tiga hari berpetualang bersama rombongan BEI, akhirnya tidak bisa istirahat juga. Terlanjur terpesona di kamar dengan pemandangan langsung tebing laut Uluwatu. Hotel ini memang eksklusif, bahkan gosipnya Brad Pitt dan Angelina Jolie sering ke sini diam-diam.
"Ah nggak, itu gosip aja mba. Kan nggak mungkin media nggak tahu kalau memang benar," kata bellboy sekaligus pengantarku menuju kamar dengan golf car. Resort ini bentuknya memang serupa cottage, jadi semuanya eksklusif memiliki ruang tamu, ruang tv dan kolam renang pribadi, yang walaupun lebih layak disebut kolam ikan. Ukurannya hanya sekitar 2,5 x 4 meter hehe...
Di kolam ini, juga sering bersliweran segerombolan monyet-monyet gunung. Mereka sih tidak mengganggu, hanya sering menonton manusia yang menginap plus mencuri buah kalau ada kesempatan pintu terbuka ^^
Sore sekitar pukul 5 WITA, kami memulai sesi press gathering Nissan di sudut lain Bvlgari. Aku tidak konsen...lelah, ngantuk, nggak ngerti juga soal otomotif. Alhasil semuanya kurekam, dan jujur saja aku bingung harus menulis apa sebenarnya. Tapi yah..akhirnya jadi juga tulisan untuk rubrik Pursuit itu ;p
Malam itu, aku juga sempat berfoto dengan Mr Shiro Nakamura, perancang Infiniti.
Sarapan pagi di Bvlgari nggak kalah eksklusif. Menunya bermacam-macam banget, beda dengan hotel bintang lima kebanyakan. Soalnya ada menu yang bisa kita pesan langsung, di samping prasmanan beraneka ragam roti, sereal, buah-buahan, dll. Yeah...that's beautiful and exclusive Bvlgari ^^
Bali memang menyenangkan, meski sering menyeramkan kalau malam haha...Tapi pesona Dewata itu, tidak pernah membosankan dan membuat semua orang rindu kembali ke sana...^^
Senang rasanya, Bali adalah bagian Indonesia. Bukan negara sendiri, seperti yang sering disangka para turis asing itu...:(
-FeiFei-
Wednesday, October 6, 2010
Makisu Lover
Aku bertandang lagi ke gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin sore, setelah liputan RBS di Graha Niaga. Aku, Mba Linda (Dow Jones News Wire) dan Melani (Inilah.com) berjalan kaki sambil berbagi dua payung untuk bertiga karena hujan.
Mba Linda bilang, dia sangat lapar dan mengajakku makan. Akhirnya kami pergi ke Siam Suki yang juga ada di gedung BEI. Tapi, restoran Thailand itu sedang bermasalah dengan nasi yang kurang matang. Padahal, kami memesan nasi goreng dan sudah membayangkan rasanya di lidah.
Akhirnya kami pun berpindah tempat. Inginnya mencari tempat yang tidak terlalu mahal, tapi enak dan mengenyangkan. Aku pun menawarkan Makisu, resto sushi favoritku, yang paling enak menurutku. Walaupun sempat mampir di Emax Cafe, kami pun tidak jadi makan di sana karena order sudah ditutup.
So, Makisu pun tetap jadi pilihan. Harganya memang agak mahal, tapiii...aku sangat suka rasanya. Memang tempat inilah yang membuatku doyan makan sushi, dari sebelumnya tidak suka haha... Pilihanku pun jatuh pada Gargoyle, sushi yang digulung dengan rumput laut, baked salmon dan ditopping griled unagi. Harganya Rp 35 ribu isi 6 potong. Rasanya? nggak perlu ditanya, bagaimana sukanya aku pada sushi Makisu. Sampai-sampai, aku mendalami setiap gigitannya. "Lu kenapa sih? Doyan banget?" kata Mba Linda yang kusambut dengan senyum-senyum sambil tetap mengunyah potongan gargoyle yg nikmat itu.
Sudah banyak orang yang kucekoki lezatnya sushi Makisu. Seperti Evelyne, yang jadi suka unagi dari sebelumnya anti, Rini (vivanews), Patrick (fortune) yang mencobanya gratisan di pernikahan anak pemilik Agung Podomoro Grup. Huaa...aku merindukan Makisu gratisan seperti waktu itu hehehe...
Dari kemarin berencana datang ke Makisu lagi bersama Evelyne, tapi belum tercapai. Rencana selanjutnya, ingin mencekoki Billy ke Makisu. Tapi sayang, resto ini hanya buka di gedung BEI dan Indofood Tower. Itu pun hanya buka senin-jumat, padahal Billy selalu datang ketika weekend. Mungkin aku juga ingin mengajak Gita, si kucing dayak itu, jika turun dari pegunungan Kalimantan nantinya hahaha...
foto waktu ke Makisu bareng Vivi..^^
-FeiFei-
Mba Linda bilang, dia sangat lapar dan mengajakku makan. Akhirnya kami pergi ke Siam Suki yang juga ada di gedung BEI. Tapi, restoran Thailand itu sedang bermasalah dengan nasi yang kurang matang. Padahal, kami memesan nasi goreng dan sudah membayangkan rasanya di lidah.
Akhirnya kami pun berpindah tempat. Inginnya mencari tempat yang tidak terlalu mahal, tapi enak dan mengenyangkan. Aku pun menawarkan Makisu, resto sushi favoritku, yang paling enak menurutku. Walaupun sempat mampir di Emax Cafe, kami pun tidak jadi makan di sana karena order sudah ditutup.
So, Makisu pun tetap jadi pilihan. Harganya memang agak mahal, tapiii...aku sangat suka rasanya. Memang tempat inilah yang membuatku doyan makan sushi, dari sebelumnya tidak suka haha... Pilihanku pun jatuh pada Gargoyle, sushi yang digulung dengan rumput laut, baked salmon dan ditopping griled unagi. Harganya Rp 35 ribu isi 6 potong. Rasanya? nggak perlu ditanya, bagaimana sukanya aku pada sushi Makisu. Sampai-sampai, aku mendalami setiap gigitannya. "Lu kenapa sih? Doyan banget?" kata Mba Linda yang kusambut dengan senyum-senyum sambil tetap mengunyah potongan gargoyle yg nikmat itu.
Sudah banyak orang yang kucekoki lezatnya sushi Makisu. Seperti Evelyne, yang jadi suka unagi dari sebelumnya anti, Rini (vivanews), Patrick (fortune) yang mencobanya gratisan di pernikahan anak pemilik Agung Podomoro Grup. Huaa...aku merindukan Makisu gratisan seperti waktu itu hehehe...
Dari kemarin berencana datang ke Makisu lagi bersama Evelyne, tapi belum tercapai. Rencana selanjutnya, ingin mencekoki Billy ke Makisu. Tapi sayang, resto ini hanya buka di gedung BEI dan Indofood Tower. Itu pun hanya buka senin-jumat, padahal Billy selalu datang ketika weekend. Mungkin aku juga ingin mengajak Gita, si kucing dayak itu, jika turun dari pegunungan Kalimantan nantinya hahaha...
foto waktu ke Makisu bareng Vivi..^^
-FeiFei-
Mencari Si Peri Kemanusiaan
Baru saja terjadi kecelakaan di jalan menuju kantorku di Kebon Jeruk, Jakarta. Sebuah motor dikendarai ibu-ibu, tiba-tiba banting kiri, pindah dari jalur busway di sebelah kanannya. Bantingan itu ternyata mengenai ban belakang motor lainnya yang dikendarai dua orang. Langsung saja, ketiganya tumbang ke jalan. Untunglah, tidak ada bus Transjakarta yang lewat. Jika tidak, wassallam....
Kaget, syok rasanya waktu aku dan Gugun melihat kejadian itu di depan mata. Tapi beda denganku yang hanya bengong, Gugun langsung stop di kiri jalan lalu membantu orang-orang itu. Tentu saja, jalanan pun ramai dan orang berkerumun sambil berupaya menolong mereka. Aku...sesaat hanya bisa bengong, dan baru sadar ketika yang lainnya sibuk membantu. Tapi akhirnya aku bergerak juga, membantu membersihkan luka si ibu-ibu 'gahar' yang tidak menangis sama sekali walaupun jidatnya sobek. Untung saja, aku bukan orang yang takut darah. Tapi melihat luka yang menganga cukup lebar itu, gemetar juga tanganku....
Bingung juga kalau dipikir-pikir, kenapa ya ternyata aku ini memang cenderung cuek. Entahlah dimana si peri kemanusiaan dalam diriku. Dalam kejadian seperti itu, butuh waktu buatku berpikir dan baru bergerak menolong.
Jadi ingat, beberapa waktu lalu, Cece pernah bercerita. Dia melihat mobil pick up yang penuh muatan, mogok di jalan tol. Si pria, yang mungkin sang suami, berusaha menyalakan mesin. Sementara si perempuan, yang mungkin sang istri, mendorong mobil itu dari belakang. Padahal, jalan tol itu menanjak.
Lalu kata Cece : "Kasihan lho...tapi nggak ada orang yang nolong, padahal banyak mobil lewat lho..."
Kataku : "Terus kenapa nggak lu aja yang berhenti nolongin?"
Cece sambil senyum-senyum : "Yah kan gw cewe, masa disuruh dorong-dorong mobil? Kan nggak kuat."
Kataku : "Itu juga cewe, tapi dorong-dorong mobil. Makanya kadang kita suka ngomongin orang, tapi sendirinya juga nggak mau nolong kan..."
Memang sih, itu ya yang namanya "Gajah di seberang lautan kelihatan, balok di pelupuk mata tidak kelihatan." Kebanyakan kita lebih sering melihat dan mengkritik orang lain tapi tidak melihat diri sendiri. Padahal diri sendiri belum tentu lebih baik. Dan si peri kemanusiaan sepertinya semakin tersingkir kedudukannya dari hati nurani. Semoga tidak berkelanjutan bagiku, atau orang-orang di sekitarku....
-FeiFei-
Kaget, syok rasanya waktu aku dan Gugun melihat kejadian itu di depan mata. Tapi beda denganku yang hanya bengong, Gugun langsung stop di kiri jalan lalu membantu orang-orang itu. Tentu saja, jalanan pun ramai dan orang berkerumun sambil berupaya menolong mereka. Aku...sesaat hanya bisa bengong, dan baru sadar ketika yang lainnya sibuk membantu. Tapi akhirnya aku bergerak juga, membantu membersihkan luka si ibu-ibu 'gahar' yang tidak menangis sama sekali walaupun jidatnya sobek. Untung saja, aku bukan orang yang takut darah. Tapi melihat luka yang menganga cukup lebar itu, gemetar juga tanganku....
Bingung juga kalau dipikir-pikir, kenapa ya ternyata aku ini memang cenderung cuek. Entahlah dimana si peri kemanusiaan dalam diriku. Dalam kejadian seperti itu, butuh waktu buatku berpikir dan baru bergerak menolong.
Jadi ingat, beberapa waktu lalu, Cece pernah bercerita. Dia melihat mobil pick up yang penuh muatan, mogok di jalan tol. Si pria, yang mungkin sang suami, berusaha menyalakan mesin. Sementara si perempuan, yang mungkin sang istri, mendorong mobil itu dari belakang. Padahal, jalan tol itu menanjak.
Lalu kata Cece : "Kasihan lho...tapi nggak ada orang yang nolong, padahal banyak mobil lewat lho..."
Kataku : "Terus kenapa nggak lu aja yang berhenti nolongin?"
Cece sambil senyum-senyum : "Yah kan gw cewe, masa disuruh dorong-dorong mobil? Kan nggak kuat."
Kataku : "Itu juga cewe, tapi dorong-dorong mobil. Makanya kadang kita suka ngomongin orang, tapi sendirinya juga nggak mau nolong kan..."
Memang sih, itu ya yang namanya "Gajah di seberang lautan kelihatan, balok di pelupuk mata tidak kelihatan." Kebanyakan kita lebih sering melihat dan mengkritik orang lain tapi tidak melihat diri sendiri. Padahal diri sendiri belum tentu lebih baik. Dan si peri kemanusiaan sepertinya semakin tersingkir kedudukannya dari hati nurani. Semoga tidak berkelanjutan bagiku, atau orang-orang di sekitarku....
-FeiFei-
Friday, October 1, 2010
Merindukan Transportasi Publik yang Nyaman
Tinggal di ibukota Jakarta ini memang seringkali membuat stress yang cukup tinggi. Lihat saja bagaimana kemacetan jalan semakin bertambah setiap harinya.
Untuk menjangkau kantor, yang seharusnya tidak sangat jauh dari rumahku, membutuhkan waktu sekitar lebih dari satu jam, dengan dua jenis kendaraan. Angkot B01 Muara Karang-Grogol, dan busway Grogol-Kebon Jeruk. Untuk angkutan yang terakhir, sering membuat frustasi lantaran kemunculannya yang cukup lama dan membuat kami berdesakan di halte yang panas itu...
Beberapa hari lalu, bersamaan denganku, ada tiga encim yang ikut mengantri busway di halte Grogol. Sambil berjalan, ketiganya membicarakan rute busway yang bisa menjangkau tempat tujuan mereka.
Pemandangan yang cukup unik bagiku. Bukannya rasis, tapi walau tinggal di kawasan yang mayoritas ‘Cina’, tidak banyak aku melihat ‘Cina’ yang cukup berumur naik angkutan umum. Apalagi, dengan jalur yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Yah, walaupun setiap hari selalu ada encim, empek, atau engkong yang naik angkot di sekitaran Muara Karang-Pluit.
Seketika itu aku mengingat perjalananku di Singapura, beberapa bulan lalu. Negeri tetangga itu, memang memiliki sarana transportasi publik yang sangat rapi, tertib dan aman. Sehingga, berbagai kalangan dan usia pun tak segan menggunakannya. Waktu itu, aku pernah melihat tiga orang engkong yang naik MRT. Salah satunya, bahkan berjalan dengan tongkat. Tapi pemandangan itu tidak mengkhawatirkan bagi orang di sekitarnya. Berbeda dengan ketika aku melihat tiga encim naik busway di Jakarta. Maklum, tingkat kebersihan, kerapihan dan ketertibannya memang tidak sepadan.
Tapi biar bagaimanapun, aku menyadari perubahan ini. Busway Transjakarta memang jauh dari sempurna, apalagi dibandingkan MRT di Singapura. Namun keberadaannya kini menjadi salah satu alternatif yang bisa dipilih banyak kalangan. Bagaimanapun, busway jauh lebih bersih dan lebih tertib dibandingkan angkutan umum biasa, yang bisa berhenti dan jalan sesuka hati. Toh aku juga beberapa kali melihat encik-encik bergaya trendi (bukan kaum pekerja) yang naik busway di jalur Green Garden-Kebon Jeruk ketika siang hari bolong. Padahal kaum-kaum ini, biasanya lebih suka menggunakan kendaraan pribadinya atau taksi.
Tetapi, busway Transjakarta masih jauh dari sempurna. Jadwalnya tidak jelas, seringkali aku harus menunggu hingga setengah jam tanpa muncul satu bus pun. Kapasitasnya pun sering berlebihan, sehingga bus yang baru berumur 3-4 tahun rasanya sudah mulai bobrok. Lalu kebersihannya belum terjaga maksimal, walaupun memang cukup bersih. Ditambah lagi, antrian yang sering menumpuk terutama di halte-halte sentral seperti Harmoni atau Senen.
Padahal masalah ini bisa cepat terselesaikan kalau Pemda DKI cepat mewujudkan rencana pembangunan MRT, atau melanjutkan proyek monorail yang mangkrak. Seperti di Singapura, dimana MRT selalu datang tepat setiap 5 menit, dengan sekitar 20 pintu di setiap kereta. Jika terwujud, tumpukan calon penumpang tidak akan terjadi. Keterlambatan waktu dan kelelahan karena menunggu busway yang tak kunjung tiba, juga akan teratasi.
Fiuuhh...kapan ya, Pemda DKI serius menyelesaikan semua keruwetan ini?? Bukan hanya rencana-rencana dan perundingan di atas kertas. Sebagai pengguna angkutan umum, aku sangat merindukan transportasi publik yang nyaman. Jakarta, Pemda, kapan wajah kita akan berubah??
-FeiFei-
Untuk menjangkau kantor, yang seharusnya tidak sangat jauh dari rumahku, membutuhkan waktu sekitar lebih dari satu jam, dengan dua jenis kendaraan. Angkot B01 Muara Karang-Grogol, dan busway Grogol-Kebon Jeruk. Untuk angkutan yang terakhir, sering membuat frustasi lantaran kemunculannya yang cukup lama dan membuat kami berdesakan di halte yang panas itu...
Beberapa hari lalu, bersamaan denganku, ada tiga encim yang ikut mengantri busway di halte Grogol. Sambil berjalan, ketiganya membicarakan rute busway yang bisa menjangkau tempat tujuan mereka.
Pemandangan yang cukup unik bagiku. Bukannya rasis, tapi walau tinggal di kawasan yang mayoritas ‘Cina’, tidak banyak aku melihat ‘Cina’ yang cukup berumur naik angkutan umum. Apalagi, dengan jalur yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Yah, walaupun setiap hari selalu ada encim, empek, atau engkong yang naik angkot di sekitaran Muara Karang-Pluit.
Seketika itu aku mengingat perjalananku di Singapura, beberapa bulan lalu. Negeri tetangga itu, memang memiliki sarana transportasi publik yang sangat rapi, tertib dan aman. Sehingga, berbagai kalangan dan usia pun tak segan menggunakannya. Waktu itu, aku pernah melihat tiga orang engkong yang naik MRT. Salah satunya, bahkan berjalan dengan tongkat. Tapi pemandangan itu tidak mengkhawatirkan bagi orang di sekitarnya. Berbeda dengan ketika aku melihat tiga encim naik busway di Jakarta. Maklum, tingkat kebersihan, kerapihan dan ketertibannya memang tidak sepadan.
Tapi biar bagaimanapun, aku menyadari perubahan ini. Busway Transjakarta memang jauh dari sempurna, apalagi dibandingkan MRT di Singapura. Namun keberadaannya kini menjadi salah satu alternatif yang bisa dipilih banyak kalangan. Bagaimanapun, busway jauh lebih bersih dan lebih tertib dibandingkan angkutan umum biasa, yang bisa berhenti dan jalan sesuka hati. Toh aku juga beberapa kali melihat encik-encik bergaya trendi (bukan kaum pekerja) yang naik busway di jalur Green Garden-Kebon Jeruk ketika siang hari bolong. Padahal kaum-kaum ini, biasanya lebih suka menggunakan kendaraan pribadinya atau taksi.
Tetapi, busway Transjakarta masih jauh dari sempurna. Jadwalnya tidak jelas, seringkali aku harus menunggu hingga setengah jam tanpa muncul satu bus pun. Kapasitasnya pun sering berlebihan, sehingga bus yang baru berumur 3-4 tahun rasanya sudah mulai bobrok. Lalu kebersihannya belum terjaga maksimal, walaupun memang cukup bersih. Ditambah lagi, antrian yang sering menumpuk terutama di halte-halte sentral seperti Harmoni atau Senen.
Padahal masalah ini bisa cepat terselesaikan kalau Pemda DKI cepat mewujudkan rencana pembangunan MRT, atau melanjutkan proyek monorail yang mangkrak. Seperti di Singapura, dimana MRT selalu datang tepat setiap 5 menit, dengan sekitar 20 pintu di setiap kereta. Jika terwujud, tumpukan calon penumpang tidak akan terjadi. Keterlambatan waktu dan kelelahan karena menunggu busway yang tak kunjung tiba, juga akan teratasi.
Fiuuhh...kapan ya, Pemda DKI serius menyelesaikan semua keruwetan ini?? Bukan hanya rencana-rencana dan perundingan di atas kertas. Sebagai pengguna angkutan umum, aku sangat merindukan transportasi publik yang nyaman. Jakarta, Pemda, kapan wajah kita akan berubah??
-FeiFei-
Berhadapan dengan Pilihan
Ketika tiba-tiba berhadapan dengan dua pilihan, semuanya selalu tidak mudah buatku. Si A yang selama ini sudah terlibat denganku, atau Si B yang tiba-tiba muncul dan tampak menggiurkan.
Beberapa kali aku mengalami hal yang sama. B tiba-tiba datang mengusik ketika aku sedang asyik bercengkerama dengan A. Tapi dia sering menghilang dan tidak diketahui keberadaannya ketika aku mencarinya.
Aku ingat, diskusi rohani yang pernah kuikuti sewaktu kuliah mengungkapkan bahwa “Life is all about making choices”. Yeah...benar, hidup adalah pilihan. Setiap waktu dalam hidup, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Memilih untuk bangun tidur di pagi hari, memilih air hangat atau dingin untuk mandi, memilih makanan untuk sarapan, memilih jalan dan transportasi untuk bekerja ataupun sekolah, dan sebagainya.
Semua itu, mungkin bukan hal yang sangat krusial bagi hidup kita. Berbeda halnya, dengan memilih untuk mengambil keputusan besar dalam hidup. Seperti sekolah, pekerjaan, pasangan hidup, dan lainnya. Tidak mudah untuk hal-hal yang satu ini. Tapi pada akhirnya, toh setiap orang tetap harus memilih.
Di sini, kedekatan denganNya sangat dibutuhkan. Ya, Dia Sang Kasih yang selalu membukakan jalan terbaik bagi setiap anakNya. Meski setiap manusia memiliki freewill, namun bimbingan Sang Khalik mutlak diperlukan. Untuk memberikan petunjuk terbaik sehingga membawa kita memilih jalan sesuai kehendakNya. Terutama, memberikan damai sejahtera dalam hati yang membawa setiap orang mampu dengan yakin dan mantap melangkah atas pilihannya.
Dan akupun, tak pernah mampu berjalan sendiri tanpaNya. Aku bukan siapa-siapa tanpa Engkau, Yesusku...
-FeiFei-
Beberapa kali aku mengalami hal yang sama. B tiba-tiba datang mengusik ketika aku sedang asyik bercengkerama dengan A. Tapi dia sering menghilang dan tidak diketahui keberadaannya ketika aku mencarinya.
Aku ingat, diskusi rohani yang pernah kuikuti sewaktu kuliah mengungkapkan bahwa “Life is all about making choices”. Yeah...benar, hidup adalah pilihan. Setiap waktu dalam hidup, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Memilih untuk bangun tidur di pagi hari, memilih air hangat atau dingin untuk mandi, memilih makanan untuk sarapan, memilih jalan dan transportasi untuk bekerja ataupun sekolah, dan sebagainya.
Semua itu, mungkin bukan hal yang sangat krusial bagi hidup kita. Berbeda halnya, dengan memilih untuk mengambil keputusan besar dalam hidup. Seperti sekolah, pekerjaan, pasangan hidup, dan lainnya. Tidak mudah untuk hal-hal yang satu ini. Tapi pada akhirnya, toh setiap orang tetap harus memilih.
Di sini, kedekatan denganNya sangat dibutuhkan. Ya, Dia Sang Kasih yang selalu membukakan jalan terbaik bagi setiap anakNya. Meski setiap manusia memiliki freewill, namun bimbingan Sang Khalik mutlak diperlukan. Untuk memberikan petunjuk terbaik sehingga membawa kita memilih jalan sesuai kehendakNya. Terutama, memberikan damai sejahtera dalam hati yang membawa setiap orang mampu dengan yakin dan mantap melangkah atas pilihannya.
Dan akupun, tak pernah mampu berjalan sendiri tanpaNya. Aku bukan siapa-siapa tanpa Engkau, Yesusku...
-FeiFei-
Subscribe to:
Posts (Atom)