Kalau kita mau bersaing dengan Singapura dan Malaysia, kita tidak perlu malu meniru langkah mereka. Yang kita perlukan adalah suatu ‘holding company’ bagi BUMN. Bukan Kementerian BUMN. Mari kita cermati berita di media yang begitu kontras. CEO Khasanah Malaysia dan CEO Temasek Singapura sibuk menyampaikan rencana strategis mereka termasuk membuka usaha di luar negeri. Sementara di Indonesia ada berita Menteri BUMN ‘terpaksa’ disibukkan membuka gerbang tol. Atau sibuk menjawab DPR setiap kali mengganti direksi BUMN. -feifei-
Sunday, April 22, 2012
DBS-Danamon dan keriuhan birokrasi di Indonesia
CEO Khasanah Malaysia dan CEO Temasek Singapura sibuk menyampaikan rencana strategis mereka termasuk membuka usaha di luar negeri. Sementara di Indonesia ada berita Menteri BUMN ‘terpaksa’ disibukkan membuka gerbang tol. Atau sibuk menjawab DPR setiap kali mengganti direksi BUMN.
Aku suka dengan paragraf penutup dari tulisan opini Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas yang juga komisaris BCA.
Dalam tulisannya yang dipublikasikan di Bisnis Indonesia hari ini, Senin 23 April 2012, pak Sigit menyoroti rencana akuisisi 67,42% saham Bank Danamon oleh DBS Bank Singapore. Saham yang sebelumnya dimiliki Fullerton Holding Financial. Keduanya, sama-sama milik Temasek Holdings, perusahaan milik negara Singapura.
Belakangan ini isu akuisisi DBS memang ramai, soalnya satu lagi bank lokal diakuisisi asing. Satu lagi?? Sebenarnya tidak juga, karena Bank Danamon sudah lama dimiliki Temasek.
Hanya saja, DBS dan Fullerton memang membuat MoU sendiri tanpa 'kulo nuwun' ke BI dan Bapepam-LK. Mungkin karena mereka pikir ini adalah akuisisi internal.
Bagaimanapun menurutku, semua persoalan ini terutama disebabkan riuhnya birokrasi di negeri ini. Entahlah, mengapa pemerintah tidak pernah tegas dan jelas dalam membuat peraturan. Katanya, Keppres tentang kepemilikan asing di bank yang boleh sampai 99% akan diganti. Wacana yang sudah sejak setahun lalu itu, toh belum ada perkembangannya sama sekali.
Seandainya pemerintah Indonesia tidak lebih banyak berdebat, mungkin semua akan lebih jelas dan mudah dijalankan. Pembatasan kepemilikan asing pada bank seharusnya tidak perlu diperdebatkan lama-lama...sudah saja ditetapkan maksimal 49%. Pasti urusan DBS dan Bank Danamon tidak akan panjang....
Lalu Pak Dahlan Iskan, Menneg BUMN, tidak akan hanya sibuk membuka gerbang tol atau menjawab pertanyaan para anggota dewan atau dianggap menantang hak interpelasi para dewan 'yang terhormat' itu....
Memang begitulah negeriku...menyedihkan...
Komentarku ini pasti jauh lebih buruk dibanding komentar Pak Sigit.
Jadi kulampirkan saja di sini tulisan beliau, si bankir kelas kakap di negeri ini :)
Akuisisi Bank Danamon, apa manfaatnya?
oleh Sigit Pramono
Rencana akuisisi Bank Danamon oleh Kelompok DBS dari Singapura telah menimbulkan beragam reaksi. Bahkan ada reaksi yang cukup keras. Dan seperti biasa ada juga yang merembet ke sentimen antiasing. Sumber reaksi selain karena isu kepemilikan asing, juga karena nilainya yang sangat besar yaitu $6,2 miliar atau sekitar Rp45,2 triliun.
Namun demikian supaya kita merespons persoalan secara lebih proporsional, ada baiknya kita coba kupas lagi apa sebe narnya transaksi yang terjadi. Pada saat ini Danamon dikuasai oleh Temasek Holding Singapura melalui Fullerton Financial Holding sebesar 67,42%. Porsi saham inilah yang akan dibeli oleh DBS Group, kelompok usaha yang bergerak di bidang keuangan dan perbankan, yang seperti Temasek juga di bawah kendali Pemerintah Singapura.
Dari sudut pandang Temasek dan DBS transaksi ini bisa diklasi fikasikan sebagai akuisisi internal. Lalu apa kerugian transaksi ini bagi Indonesia? Mari kita lihat dari kemungkinan mudarat terburuknya: Akuisisi Danamon oleh DBS akan membuat per bank an Indonesia semakin di kuasai asing. Benarkah demikian?
Setelah transaksi terjadi, Danamon hanya berubah pemi lik dari Fullerton/Temasek ke DBS, tetapi ujungujungnya tetap Singapura juga. Artinya peta kepemilikan asing di per bankan nasional tidak berubah.
Kemungkinan kekhawatiran kerugian kedua berawal dari ada nya pendapat yang mengatakan investor lokal dikucilkan. Mereka kehilangan kesempatan mendapat keuntungan karena tidak dilibatkan dalam transaksi ini.
Mari kita bersikap realistis. Dulu ketika saham BII sebesar 56,8 % dijual Temasek secara terbuka ternyata tidak ada investor dalam negeri yang sanggup membelinya.
BII akhirnya jatuh ke tangan Maybank Malaysia dengan nilai Rp13,65 triliun.
Kasus divestasi Bank Mutiara juga sama. Jadi kalaupun investor dalam negeri mendapatkan kesempatan untuk membeli saham Danamon dari Temasek, siapa yang mampu menandingi harga yang diajukan DBS yang setara Rp45,2 triliun itu?
Apakah pemerintah melalui bank BUMN berminat membeli Danamon?
Lalu apa mudaratnya bagi pemegang saham minoritas? Tampaknya me reka justru bisa diuntungkan dengan transaksi ini. Ada potensi untuk mendapatkan ‘capital gain’ dari pergerakan harga saham Danamon yang rata-rata Rp4.480 ke Rp7.000 yakni harga penawaran DBS ke Fullerton. Kalau seperti itu ka susnya, tampaknya tidak ada alasan bagi Bapepam untuk tidak menyetujui transaksi ini.
Bagaimana mudaratnya bagi BI sebagai regulator? Salah satu Deputi Gu bernur BI memberikan pernyataan bahwa bagi BI bila pemegang saham Danamon beralih ke DBS yang notabene bank, maka komu nika si dan pengawasannya akan lebih mudah.
Jadi BI tampaknya juga tidak mempunyai alasan yang kuat untuk tidak mengizinkan transaksi ini. Namun atas desakan berbagai pihak, yang tercermin dari opini yang berkembang di media, BI tampaknya akan mengambil dua kemungkinan pilihan.
Yang pertama, menunda persetujuan dengan alasan rencana akuisisi ini tidak pernah disebut di dalam rencana bisnis Bank Danamon. Meski ikhwal ini tentu akan ditanggapi oleh manajemen Danamon bahwa mereka tidak tahu menahu karena akuisisi itu terjadi di tingkat pemegang saham. Mereka akan berkilah itu aksi pemegang saham, bukan aksi manajemen/korporasi.
BI tetap saja bisa meminta Da na mon untuk mencantumkan rencana akuisisi ini pada RBB berikutnya. Ini berarti Danamon harus menunggu per setujuan BI setahun kemudian.
Kemungkinan kedua, BI menyetujui dengan beberapa syarat, di an taranya penerapan asas resiprokal. Sebagai catatan, kalaupun dicantumkan asas resiprokal, sebaiknya disebutkan secara lebih spesifik apa yang kita kehendaki, apakah termasuk persyaratan permodalan, atau sekadar perlakuan yang sama bagi bank Indonesia yang beroperasi di Singapura, dalam membuka cabang, ATM dan sebagainya.
Meskipun setelah azas resiprokal di sepakati, pada akhirnya hal ini juga menyisakan pertanyaan bagi bank-bank Indonesia untuk memanfaatkan pemberlakuan asas resiprokal ini. Pasalnya, mengoperasikan cabang dan ATM di Singapura dan Malaysia, secara bisnis belum tentu menguntungkan.
Kembali ke kasus Danamon-DBS, sebetulnya apa kesalahan DBS sehingga persetujuan dari regulator tidak mudah diperoleh? Dan apakah transaksi ini bisa dibatalkan? Banyak pihak yang menuding Temasek dan DBS tidak menghormati Pemerintah RI, melangkahi kewenangan regulator dan `tidak kulo nuwun'.
Namun apakah atas kesalahan itu kemudian mereka akan mendapatkan sanksi dibatalkannya transaksi? Jawabannya ada di BI dan Bapepam LK.
Hikmah Kasus Danamon-DBS
Kasus akuisisi Danamon oleh DBS seharusnya menjadi alarm bagi kita semua, yakni pemerintah, DPR, BI dan para pelaku di industri perbankan nasional. Kita harus bergegas melakukan tindakan nyata dan konstruktif. Bukan sekadar mengumbar reaksi emosional sesaat yang kemudian justru membiarkan persoalan intinya menggantung tanpa solusi. Hal semacam ini selalu berulang terjadi.
Fakta bahwa kepemilikan saham oleh asing di perbankan nasional mencapai 52 % , itu sudah merupakan realita kehidupan perbankan kita. Sekarang ini ibaratnya kita sudah terkepung oleh bank-bank asing di halaman rumah kita sendiri.
Seperti kita ketahui, hingga krisis 97/98 bank asing seperti Citibank, HSBC, Standchart, ANZ dan lainlainya hanya diizinkan membuka cabang di beberapa ibu kota provinsi. Jumlah mereka tidak lebih dari 20 cabang. Pascakrisis, yaitu setelah bank-bank nasional jatuh ke tangan asing, mereka kemudian melakukan rebranding dan mengganti logo seluruh cabangnya. OCBC Singapura mengganti logo NISP dan seluruh cabangnya dengan logo OCBC.
CIMB Malaysia mengubah cabang Bank Niaga dan Bank Lippo dengan logo CIMB. UOB Singapura melakukan hal yang sama dengan Bank Buana.
Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, ribuan cabang bank nasional berganti wajah menjadi cabang bank asing. Bahkan sampai ke pelosok kota kabupaten di seluruh Indonesia.
Sampai saat ini jumlah cabang bank bank asing , sudah jauh melampaui jumlah gerai makanan dan minuman cepat saji asing yang ada di Indonesia seperti KFC, Mc Donald, Pizza Hut, Starbucks dan lainnya digabung menjadi satu.
Fakta ini seharusnya menyadarkan kita semua untuk berbenah. Kita harus perbaiki arsitektur perbankan nasional, undang-undang perbankan dan semua ketentuan yang berkaitan dengan kepemilikan asing. Dengan demikian kehadiran bank asing yang ‘terlanjur’ berada di tengah-tengah kita, dapat diperluas peran dan kontribusinya untuk mendorong pembangunan dan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kalau kita hendak mengoreksi kebijakan kepemilikan asing di perbankan, maka Keppres yang membolehkan asing memiliki saham bank hingga 99%, sebaiknya dicabut. Kemudian atur kembali ketentuan kepemilikan asing ke depan seperti apa dan berapa maksimalnya.
Yang terpenting harus memperhitungkan kemampuan pemilik bank dalam negeri dalam menambah modal, dan daya serap investor lokal apabila ketentuan baru mengharuskan pemilik asing melakukan divestasi.
Hikmah lainnya dari kasus Danamon-DBS ialah adanya fakta menarik bahwa Singapura sebagai negara terkecil di Asia Tenggara memiliki bank terbesar di kawasan ini, yaitu DBS. Bandingkan dengan Indonesia sebagai negara terbongsor di Asean, memiliki Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia yang berada di peringkat ke-8 di Asean.
Itulah sebabnya mengapa DBS begitu leluasa melakukan ekspansi ke luar negeri, termasuk mengakuisisi bank di Indonesia. Mereka mempu nyai modal kuat dan kemampuan manajemen untuk bersaing di luar negeri. Jadi bukan sekadar persoalan penerapan asas resiprokal.
Sepatutnya hal ini menggugah rasa kebangsaan kita secara lebih positif. Meski sulit, gagasan untuk menggabungkan beberapa bank milik negara sebaiknya mulai ditindaklanjuti dengan lebih sungguh-sungguh.
Subscribe to:
Posts (Atom)