Baru saja membaca postingan berita seorang teman tentang kisah seorang TKI yang dimuat di Kompas.com
Namanya Sri Nawati, warga Desa Karangowo, Kudus, Jawa Tengah. Sejak 2004 lalu, dia pergi mengadu nasib ke Kuwait. Tetapi keberadaannya tidak pernah diketahui sampai detik ini. Padahal kontrak kerja Sri seharusnya sudah habis sejak 2007. Kabar tak ada, uang pun tak pernah dikirimnya...
Masinah, yang juga warga Desa Karangowo, nasibnya sama saja. Dia berangkat ke Arab Saudi menjadi TKI sejak 1999, tapi kabarnya tak terdengar hingga kini. Entah dimana keberadaan mereka.
Baru-baru ini, kabar TKI di Arab Saudi memang santer terdengar. Terutama, Ruyati yang kabarnya mencuat lantaran dihukum pancung, dan Darsem yang hampir dihukum pancung namun terselamatkan lantaran dimaafkan oleh keluarga korban dan didenda Rp 4,7 miliar yang dibayar oleh negara. Ruyati tak terselamatkan, karena tidak dimaafkan oleh keluarga korban. Padahal keduanya sama-sama divonis bersalah karena membunuh meski untuk membela diri dari upaya perkosaan.
Darsem sempat mendapat banyak simpati dan warga pun mengumpulkan dana hingga Rp 1,2 miliar sebelum akhirnya pemerintah membayarkan denda itu. Uang itu terkumpul di stasiun TV One. Setelah Darsem berhasil dibawa pulang beberapa waktu lalu, uang itu diberikan kepadanya secara utuh. Katanya, akan dipakai untuk membangun rumah dan menyumbang ke panti asuhan. Berapa alokasinya masing-masing? Darsem tidak menjawab dan hanya tersenyum, pancaran kebahagiaan dirinya.
Tepat ketika melihat siaran TV yang menayangkan penyerahan dana itu, hatiku bertanya-tanya. Mengapa TV One lalu menyerahkan begitu saja uang itu kepada Darsem? Memang itu hak Darsem, yang awalnya untuk membebaskannya. Tapi mengapa tidak ada upaya bujukan kepada pihak Darsem untuk membuat sebuah wadah diplomasi untuk membantu TKI lainnya yang mengalami nasib serupa??
Jujur saja, seketika itu, aku tak lagi simpati pada Darsem ataupun TV One. Seharusnya, dana itu bisa digunakan untuk mewadahi kasus-kasus TKI yang serupa atau segala hal yang berkaitan dengannya. Toh dana itu dari masyarakat banyak, dan ditujukan untuk membebaskan Darsem, tetapi bukan untuk membuatnya kaya mendadak!!
Entah...mungkin karena latar belakang, tingkat pendidikan atau apa lah maksudnya....
Darsem memang berbeda dengan Prita Mulyasari. Ibu rumah tangga yang terkena kasus lantaran mengirim email protes tentang RS Omni International itu juga mendapat banyak simpati. Gerakan Koin untuk Prita lalu muncul dan menghasilkan uang sebesar Rp 825 juta. Fantastis!!!
Uang itu tadinya dikumpulkan untuk membantu Prita yang digugat denda Rp 204 juta. Tetapi Prita justru mengajukan banding dan bebas tanpa denda. Katanya, supaya uang yang terkumpul tidak terpakai. Setelah itu, Prita menyumbangkan uang itu ke yayasan untuk membantu orang-orang lain yang mengalami kasus serupa. "Untuk membantu 'Prita-Prita' lain," begitu katanya. Meski akhirnya, dana itu lalu dipakai untuk membantu korban Merapi sebesar Rp 800 juta.
Yeah...seharusnya, memang dana tersebut bisa digunakan untuk membantu lebih banyak orang. Terutama yang terkena kasus hukum, atau kasus serupa dengan yang dialaminya lantaran memang biayanya tidak murah.
Seandainya Darsem bisa berpikir demikian...mungkin saja keberadaan Sri Nawati atau Masinah bisa ditelusuri? Soalnya banyak juga TKI yang hilang jejaknya di negeri antah berantah. Walaupun begitu, toh kebanyakan penduduk lapisan bawah masih belum kapok juga. Pemberangkatan TKI masih banyak, meskipun mereka disiksa, tidak diberi gaji, sering hampir diperkosa di Arab Saudi, Malaysia, Kuwait, dll.
Jadi teringat yang dikatakan Djoko Susanto, pendiri jaringan Alfamart. "Daripada banyak yang jadi TKI di luar negeri, lebih baik kerja di sini. Kami mendirikan Alfamart dan menyerap banyak tenaga kerja," begitu katanya.
Padahal, gaji yang diterima sebenarnya tidak sangat jauh berbeda dibandingkan UMR di dalam negeri. Aku masih ingat ketika Siti, adik Fa, pengasuhku waktu kecil, berangkat menjadi TKI ke Singapura. Katanya, gaji yang diterima sekitar satu juta lebih. Seorang mantan TKI lain yang kutemui di Lumajang juga bercerita gajinya sekitar SGD 200-300 di Singapura, yang jika dikurs berarti sekitar Rp 1,4-2,1 juta. Mungkin sekitar 2kali lipat dibandingkan UMR pembantu atau pegawai lulusan SMA di Jakarta. Tapi mereka juga bisa menjadi baby sitter yang gajinya bisa mencapai Rp 1,5 juta per bulan. Setidaknya, mereka tidak disiksa, dan tetap berada di negeri sendiri.
Mungkin gemerlap atau gengsi luar negeri menjadi salah satu yang mereka cari. Bukan hanya uang semata, yang seharusnya bisa didapatkan seandainya pemerintah kita bisa membangun negeri ini dengan lebih baik. Toh kita memiliki semuanya, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang demikian sangat besarnya.
Seandainya saja....
-feifei-