Sunday, April 22, 2012

DBS-Danamon dan keriuhan birokrasi di Indonesia

CEO Khasanah Malaysia dan CEO Temasek Singapura sibuk menyampaikan rencana strategis mereka termasuk membuka usaha di luar negeri. Sementara di Indonesia ada berita Menteri BUMN ‘terpaksa’ disibukkan membuka gerbang tol. Atau sibuk menjawab DPR setiap kali mengganti direksi BUMN. Aku suka dengan paragraf penutup dari tulisan opini Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas yang juga komisaris BCA. Dalam tulisannya yang dipublikasikan di Bisnis Indonesia hari ini, Senin 23 April 2012, pak Sigit menyoroti rencana akuisisi 67,42% saham Bank Danamon oleh DBS Bank Singapore. Saham yang sebelumnya dimiliki Fullerton Holding Financial. Keduanya, sama-sama milik Temasek Holdings, perusahaan milik negara Singapura. Belakangan ini isu akuisisi DBS memang ramai, soalnya satu lagi bank lokal diakuisisi asing. Satu lagi?? Sebenarnya tidak juga, karena Bank Danamon sudah lama dimiliki Temasek. Hanya saja, DBS dan Fullerton memang membuat MoU sendiri tanpa 'kulo nuwun' ke BI dan Bapepam-LK. Mungkin karena mereka pikir ini adalah akuisisi internal. Bagaimanapun menurutku, semua persoalan ini terutama disebabkan riuhnya birokrasi di negeri ini. Entahlah, mengapa pemerintah tidak pernah tegas dan jelas dalam membuat peraturan. Katanya, Keppres tentang kepemilikan asing di bank yang boleh sampai 99% akan diganti. Wacana yang sudah sejak setahun lalu itu, toh belum ada perkembangannya sama sekali. Seandainya pemerintah Indonesia tidak lebih banyak berdebat, mungkin semua akan lebih jelas dan mudah dijalankan. Pembatasan kepemilikan asing pada bank seharusnya tidak perlu diperdebatkan lama-lama...sudah saja ditetapkan maksimal 49%. Pasti urusan DBS dan Bank Danamon tidak akan panjang.... Lalu Pak Dahlan Iskan, Menneg BUMN, tidak akan hanya sibuk membuka gerbang tol atau menjawab pertanyaan para anggota dewan atau dianggap menantang hak interpelasi para dewan 'yang terhormat' itu.... Memang begitulah negeriku...menyedihkan... Komentarku ini pasti jauh lebih buruk dibanding komentar Pak Sigit. Jadi kulampirkan saja di sini tulisan beliau, si bankir kelas kakap di negeri ini :) Akuisisi Bank Danamon, apa manfaatnya? oleh Sigit Pramono Rencana akuisisi Bank Danamon oleh Kelompok DBS dari Singapura telah menimbulkan beragam reaksi. Bahkan ada reaksi yang cukup keras. Dan seperti biasa ada juga yang merembet ke sentimen antiasing. Sumber reaksi selain karena isu kepemilikan asing, juga karena nilainya yang sangat besar yaitu $6,2 miliar atau sekitar Rp45,2 triliun. Namun demikian supaya kita merespons persoalan secara lebih proporsional, ada baiknya kita coba kupas lagi apa sebe narnya transaksi yang terjadi. Pada saat ini Danamon dikuasai oleh Temasek Holding Singapura melalui Fullerton Financial Holding sebesar 67,42%. Porsi saham inilah yang akan dibeli oleh DBS Group, kelompok usaha yang bergerak di bidang keuangan dan perbankan, yang seperti Temasek juga di bawah kendali Pemerintah Singapura. Dari sudut pandang Temasek dan DBS transaksi ini bisa diklasi fikasikan sebagai akuisisi internal. Lalu apa kerugian transaksi ini bagi Indonesia? Mari kita lihat dari kemungkinan mudarat terburuknya: Akuisisi Danamon oleh DBS akan membuat per bank an Indonesia semakin di kuasai asing. Benarkah demikian? Setelah transaksi terjadi, Danamon hanya berubah pemi­ lik dari Fullerton/Temasek ke DBS, tetapi ujung­ujungnya tetap Singapura juga. Artinya peta kepemilikan asing di per­ bankan nasional tidak berubah. Kemungkinan kekhawatiran kerugian kedua berawal dari ada­ nya pendapat yang mengatakan investor lokal dikucilkan. Mereka kehilangan kesempatan men­dapat keuntungan karena tidak dilibatkan dalam transaksi ini. Mari kita bersikap realistis. Dulu ketika saham BII sebesar 56,8 % dijual Temasek secara terbuka ternyata tidak ada investor dalam negeri yang sang­gup membelinya. BII akhirnya jatuh ke tangan Maybank Malaysia dengan nilai Rp13,65 triliun. Kasus divestasi Bank Mutiara juga sama. Jadi kalaupun investor dalam negeri mendapatkan kesempatan untuk membeli saham Danamon dari Temasek, siapa yang mampu menandingi harga yang diajukan DBS yang setara Rp45,2 triliun itu? Apakah pemerintah melalui bank BUMN berminat membeli Danamon? Lalu apa mudaratnya bagi pemegang saham minoritas? Tampaknya me reka justru bisa diuntungkan dengan transaksi ini. Ada potensi untuk mendapatkan ‘capital gain’ dari pergerakan harga saham Danamon yang rata-rata Rp4.480 ke Rp7.000 yakni harga penawaran DBS ke Fullerton. Kalau seperti itu ka susnya, tampaknya tidak ada alasan bagi Bapepam untuk tidak menyetujui transaksi ini. Bagaimana mudaratnya bagi BI sebagai regulator? Salah satu Deputi Gu bernur BI memberikan pernyataan bahwa bagi BI bila pemegang saham Danamon beralih ke DBS yang notabene bank, maka komu nika si dan pengawasannya akan lebih mudah. Jadi BI tampaknya juga tidak mempunyai alasan yang kuat untuk tidak mengizinkan transaksi ini. Namun atas desakan berbagai pihak, yang tercermin dari opini yang berkembang di media, BI tampaknya akan mengambil dua kemungkinan pilihan. Yang pertama, menunda persetujuan dengan alasan rencana akuisisi ini tidak pernah disebut di dalam rencana bisnis Bank Danamon. Meski ikhwal ini tentu akan ditanggapi oleh manajemen Danamon bahwa mereka tidak tahu menahu karena akuisisi itu terjadi di tingkat pemegang saham. Mereka akan berkilah itu aksi pemegang saham, bukan aksi manajemen/korporasi. BI tetap saja bisa meminta Da na mon untuk mencantumkan rencana akuisisi ini pada RBB berikutnya. Ini berarti Danamon harus menunggu per setujuan BI setahun kemudian. Kemungkinan kedua, BI menyetujui dengan beberapa syarat, di an taranya penerapan asas resiprokal. Sebagai catatan, kalaupun dicantumkan asas resiprokal, sebaiknya disebutkan secara lebih spesifik apa yang kita kehendaki, apakah termasuk persyaratan permodalan, atau sekadar perlakuan yang sama bagi bank Indonesia yang beroperasi di Singapura, dalam membuka cabang, ATM dan sebagainya. Meskipun setelah azas resiprokal di sepakati, pada akhirnya hal ini juga menyisakan pertanyaan bagi bank-bank Indonesia untuk memanfaatkan pemberlakuan asas resiprokal ini. Pasalnya, mengoperasikan cabang dan ATM di Singapura dan Malaysia, secara bisnis belum tentu menguntungkan. Kembali ke kasus Danamon-DBS, sebetulnya apa kesalahan DBS sehingga persetujuan dari regulator tidak mudah diperoleh? Dan apakah transaksi ini bisa dibatalkan? Banyak pihak yang menuding Temasek dan DBS tidak menghormati Pemerintah RI, melangkahi kewenangan regulator dan `tidak kulo nuwun'. Namun apakah atas kesalahan itu kemudian mereka akan mendapatkan sanksi dibatalkannya transaksi? Jawabannya ada di BI dan Bapepam LK. Hikmah Kasus Danamon-DBS Kasus akuisisi Danamon oleh DBS seharusnya menjadi alarm bagi kita semua, yakni pemerintah, DPR, BI dan para pelaku di industri perbankan nasional. Kita harus bergegas melakukan tindakan nyata dan konstruktif. Bukan sekadar mengumbar reaksi emosional sesaat yang kemudian justru membiarkan persoalan intinya menggantung tanpa solusi. Hal semacam ini selalu berulang terjadi. Fakta bahwa kepemilikan saham oleh asing di perbankan nasional mencapai 52 % , itu sudah merupakan realita kehidupan perbankan kita. Sekarang ini ibaratnya kita sudah terkepung oleh bank-bank asing di halaman rumah kita sendiri. Seperti kita ketahui, hingga krisis 97/98 bank asing seperti Citibank, HSBC, Standchart, ANZ dan lainlainya hanya diizinkan membuka cabang di beberapa ibu kota provinsi. Jumlah mereka tidak lebih dari 20 cabang. Pascakrisis, yaitu setelah bank-bank nasional jatuh ke tangan asing, mereka kemudian melakukan rebranding dan mengganti logo seluruh cabangnya. OCBC Singapura mengganti logo NISP dan seluruh cabangnya dengan logo OCBC. CIMB Malaysia mengubah cabang Bank Niaga dan Bank Lippo dengan logo CIMB. UOB Singapura melakukan hal yang sama dengan Bank Buana. Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, ribuan cabang bank nasional berganti wajah menjadi cabang bank asing. Bahkan sampai ke pelosok kota kabupaten di seluruh Indonesia. Sampai saat ini jumlah cabang bank bank asing , sudah jauh melampaui jumlah gerai makanan dan minuman cepat saji asing yang ada di Indonesia seperti KFC, Mc Donald, Pizza Hut, Starbucks dan lainnya digabung menjadi satu. Fakta ini seharusnya menyadarkan kita semua untuk berbenah. Kita harus perbaiki arsitektur perbankan nasional, undang-undang perbankan dan semua ketentuan yang berkaitan dengan kepemilikan asing. Dengan demikian kehadiran bank asing yang ‘terlanjur’ berada di tengah-tengah kita, dapat diperluas peran dan kontribusinya untuk mendorong pembangunan dan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kalau kita hendak mengoreksi kebijakan kepemilikan asing di perbankan, maka Keppres yang membolehkan asing memiliki saham bank hingga 99%, sebaiknya dicabut. Kemudian atur kembali ketentuan kepemilikan asing ke depan seperti apa dan berapa maksimalnya. Yang terpenting harus memperhitungkan kemampuan pemilik bank dalam negeri dalam menambah modal, dan daya serap investor lokal apabila ketentuan baru mengharuskan pemilik asing melakukan divestasi. Hikmah lainnya dari kasus Danamon-DBS ialah adanya fakta menarik bahwa Singapura sebagai negara terkecil di Asia Tenggara memiliki bank terbesar di kawasan ini, yaitu DBS. Bandingkan dengan Indonesia sebagai negara terbongsor di Asean, memiliki Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia yang berada di peringkat ke-8 di Asean. Itulah sebabnya mengapa DBS begitu leluasa melakukan ekspansi ke luar negeri, termasuk mengakuisisi bank di Indonesia. Mereka mempu nyai modal kuat dan kemampuan manajemen untuk bersaing di luar negeri. Jadi bukan sekadar persoalan penerapan asas resiprokal. Sepatutnya hal ini menggugah rasa kebangsaan kita secara lebih positif. Meski sulit, gagasan untuk menggabungkan beberapa bank milik negara sebaiknya mulai ditindaklanjuti dengan lebih sungguh-sungguh.
Kalau kita mau bersaing dengan Singapura dan Malaysia, kita tidak perlu malu meniru langkah mereka. Yang kita perlukan adalah suatu ‘holding company’ bagi BUMN. Bukan Kementerian BUMN. Mari kita cermati berita di media yang begitu kontras. CEO Khasanah Malaysia dan CEO Temasek Singapura sibuk menyampaikan rencana strategis mereka termasuk membuka usaha di luar negeri. Sementara di Indonesia ada berita Menteri BUMN ‘terpaksa’ disibukkan membuka gerbang tol. Atau sibuk menjawab DPR setiap kali mengganti direksi BUMN. -feifei-

Friday, March 30, 2012

Wish You Were Here...

Wish You Were Here
by Avril Lavigne



G
I can be tough
D
I can be strong
Em C
But with you, It's not like that at all

G D
Theres a girl who gives a shit
Em
Behind this wall
C
You just walk through it


[refrain]
G
And I remember all those crazy thing you said
D
You left them running through my head
Em
You're always there, you're everywhere
C
But right now I wish you were here

G
All those crazy things we did
D
Didn't think about it just went with it
Em
You're always there, you're everywhere
C
But right now I wish you were here

[chorus]
G
Damn, Damn, Damn,
D
What I'd do to have you
Em
Here, Here, Here
C
I wish you were here

G
Damn, Damn, Damn,
D
What I'd do to have you
Em
Near, Near, Near
C
I wish you were here.


G D
I love the way you are

Em C
It's who I am don't have to try hard

G D
We always say, Say like it is

Em C
And the truth is that I really miss



[refrain]
G
And I remember all those crazy thing you said
D
You left them running through my head
Em
You're always there, you're everywhere
C
But right now I wish you were here

G
All those crazy things we did
D
Didn't think about it just went with it
Em
You're always there, you're everywhere
C
But right now I wish you were here

http://cintheteun.blogspot.com/2011/09/wish-you-were-here-chords-avril-lavigne.html
[chorus]
G
Damn, Damn, Damn,
D
What I'd do to have you
Em
Here, Here, Here
C
I wish you were here

G
Damn, Damn, Damn,
D
What I'd do to have you
Em
Near, Near, Near
C
I wish you were here.



[bridge]
Bm G
No, I don't wanna let go

D
I just wanna let you know

Bm G

That I never wanna let go

D

Let go, Oh, Oh,



Bm G
No, I don't wanna let go

D
I just wanna let you know

C Bm
That I never wanna let go

D Em

Let go, Let go, Let go...



[chorus]
G
Damn, Damn, Damn,
D
What I'd do to have you
Em
Here, Here, Here
C
I wish you were here

G
Damn, Damn, Damn,
D
What I'd do to have you
Em
Near, Near, Near
C
I wish you were here.


-feifei-
~dedicated to Billy, I miss u~

Soal Naiknya Harga BBM

Sudah lama tidak mengisi blog ini...

Malam ini kuisi dengan kekisruhan gara-gara rencana kenaikan harga BBM.

Sudah sejak awal minggu ini Jakarta dan beberapa kota di Indonesia, diwarnai demo anti-kenaikan harga BBM. Alhasil, jalanan Jakarta cukup lenggang dalam beberapa hari ini. Soalnya sebagian orang tidak berani keluar rumah, tidak berani keluar dengan mobil pribadinya, atau mencari jalur alternatif. Aku pun senang...bisa melenggang di jalan-jalan protokol tanpa kemacetan seperti hari-hari biasanya hehehe...

Tapi aku tidak setuju juga dengan demo-demo yang cukup 'lebay' ini. Bukannya tidak memperhatikan dampak kenaikan harga BBM, tapi semua ini sudah terlalu dipolitisir. Toh rencana kenaikan harga cuma Rp 1.500/liter, dari Rp 4.500/liter jadi Rp 6.000/liter premium.

Seperti sopir taksi yang tadi kunaiki bilang, "Iya ya bu...kita kan memang pernah ngalamin harga bensin Rp 6.000 waktu taon 2008, terus diturunin lagi ya?"

Memang begitulah adanya...tapi reaksi kali ini berlebihan, demo dimana-mana yang mengatasnamakan rakyat, dari kaum buruh dan mahasiswa. Sampai-sampai banyak yang resah dan teman-temanku menyuruhku pulang cepat, walaupun aku pulang malam juga...cuek saja hehe...

Padahal, para demonstran itu mungkin tidak benar-benar tahu mengapa BBM harus naik, atau memikirkan alternatif lainnya. Yang mereka teriakkan cuma "tolak kenaikan harga BBM", tanpa memikirkan solusi yang jelas :(

Toh ternyata demo-demo itu ampuh membuat rapat paripurna DPR berkepanjangan, sampai jam 1 malam tanggal 31 Maret 2012. Hasilnya, harga BBM tidak jadi naik per 1 April. Tapi pemerintah berwenang menaikkan kalau harga BBM Indonesia mencapai 15% dalam waktu 6 bulan ke depan. Soal ini, aku tidak tahu persis bagaimana maksudnya hmm...

Ada dua stasiun TV, Metro TV dan TV One, yang jelas2 punya agenda politik, yang menayangkan secara live sidang paripurna itu. Anggota DPR berdebat, berantem,voting, walk out tidak sportif, suara-suara teriakan yang menurutku 'kampungan', dan mahasiswa yang menjadi 'Fraksi Balkon' yang cuma bisa teriak-teriak rusuh, semua itu terekam dalam tayangan yang entah sudah berapa jam lamanya. Lengkap, tanpa terpotong iklan.

Tapi sayang, sesudah voting, pernyataan sikap pemerintah oleh Menkeu Agus Martowardoyo malah dipotong iklan dan tayangan pendapat presenter-presenter TV itu. Rupanya...debat kusir itu lebih penting dibanding pernyataan sikap pemerintah ya???

Padahal, Menkeu sempat menyebutkan bahwa APBN 2012 tetap sesuai rencana semula. Di dalamnya termasuk anggaran untuk subsidi BBM Rp 137,5 triliun, anggaran subsidi listrik Rp 65 triliun, dan anggaran energi cadangan Rp 37 triliun.

Totalnya hanya Rp 239,5 triliun. Masih kalah dengan anggaran remunerasi PNS yang mencapai Rp 250 triliun per tahun!!!

Hebat...betapa borosnya APBN kita. Itu pun, anggaran untuk subsidi pendidikan atau kesehatan biasanya masih juga terkonsentrasi pada biaya gaji karyawan di bidang itu. Padahal, seharusnya anggaran itu dialihkan untuk sarana prasarana bagi masyarakat!!

Itulah mengapa, aku tidak pernah mau menjadi PNS. Bukannya menyindir teman-temanku yang juga banyak menjadi PNS, tetapi bagiku lebih baik bekerja di sektor swasta, supaya tidak membebani negara. Jumlah PNS di negara ini toh sudah terlalu gendut, tanpa job desk yang jelas....

Seperti yang dikatakan Kahlil Rowter ketika kutemui tadi siang...
Seharusnya jumlah PNS itu dipangkas sampai 30%, departemen-departemen yang tidak perlu juga dibubarkan saja. Dengan begitu, bisa menghemat APBN cukup besar dan harga BBM tidak perlu naik. Toh itu juga bisa membangun mental supaya tidak hanya mau enak-enakan ditanggung negara.

Aku memang sudah bosan dengan segala kerusuhan-kerusuhan kecil yang seharusnya tidak perlu ini...

Ketika banyak investor asing yang ingin datang ke Indonesia dan melihat cantiknya potensi di negara ini, masyarakatnya sendiri justru sibuk berdebat kusir, membuat rusuh dengan gaya sok keren.

Padahal, seandainya tenaga dan pikiran anggota DPR itu dipakai untuk mengurus negara...atau tenaga para mahasiswa dan buruh dipakai untuk mempersiapkan diri menjadi ahli profesional yang handal...mungkin pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan kita sudah melebihi negara-negara lain di Asia Tenggara. Bukannya jadi negara terbesar di ASEAN yang kalah oleh tetangga-tetangganya.

Tapi rupanya...orang-orang di negeri ini lebih suka menjadi pemain drama di panggung sandiwara. Saking senangnya berakting...mereka sering kali lupa akan dunia yang riil.

Aku, jujur saja lebih suka dengan para pebisnis. Baik jujur ataupun tidak, mereka tetap melakukan sesuatu yang riil.

Mungkin aku sudah jadi anggota dari kaum kapitalis??

Terserah apa kata orang....

-feifei-

Thursday, October 6, 2011

Bersyukur untuk Berkat ‘Biasa’

Seringkali setiap menyambut pagi hari, aku enggan bangun dengan semangat. Rasa kantukku masih ada ditambah sisa lelah di badan yang mungkin belum terbayar sepenuhnya. Belum lagi, memikirkan beban pekerjaan yang harus kulakukan sepanjang hari, yang mungkin akan membuat waktuku cepat habis hingga malam datang lagi.

Sering juga aku mengeluhkan transportasi publik yang harus kunaiki setiap hari. Mulai dari angkot yang panas tanpa AC, berhenti seenaknya sendiri, sopir yang ugal-ugalan dan kondisi di dalamnya yang kurang aman. Atau bus Transjakarta yang kunaiki setiap hari, sering membuatku menunggu lama di halte hingga naik darah, AC yang kadang tidak terasa, belum lagi penumpang yang penuh berjubel di jam-jam sibuk.

Semua itu belum ditambah dengan kemacetan jalanan ibu kota yang semakin hari semakin gila. Ini juga yang membuatku enggan menyetir mobil sendiri di hari kerja. Bahkan naik taksi pun, bisa jadi pilihan yang salah. Kelelahan selanjutnya juga datang dari keharusan berjalan kaki di bawah teriknya matahari Jakarta, ditambah dengan debu jalanan yang sering membuat sesak napas.

Aku juga sering merasa stress dan lelah memikirkan berbagai pekerjaan yang terasa berat karena ditambah tekanan dari atasan. Atau memikirkan gaji yang kebanyakan hanya numpang lewat setiap bulan lantaran harus membayar ini itu ditambah pengeluaran setiap hari. Atau iri melihat sesama yang nampak lebih sukses dariku.

Sepertinya aku juga sering mengeluh karena masalah-masalah kecil dengan teman, keluarga atau pasangan. Atau hanya karena berat badan bertambah, jerawat yang muncul lagi di sudut wajah, handphone yang sering eror, AC di kamar yang rusak, baju yang sudah mulai jelek, membeli barang terlalu mahal, ketinggalan kesempatan diskon, tidak bisa makan enak, tidak bisa jalan-jalan dan segala tetek bengek lainnya.

Semua itu bagiku hal biasa, bukan suatu hal yang aneh dan kualami hampir setiap hari...

Aku memang sering tidak bersyukur untuk berkat yang ‘biasa’ itu. Aku juga sering tidak menyadari, betapa luar biasanya berkat yang ‘biasa’ itu. Memang aku sering mengeluh. Ah...aku kurang ini, aku kurang itu, aku ingin ini, aku ingin itu Tuhan...mengapa kau tidak adil padaku? Mengapa aku tidak bisa mendapatkannya?

Tapi tidak demikian dengan temanku. Namanya Victor Alexander. Seorang pria muda seumuranku, yang pernah dua tahun sekelas denganku dan lulus SMA di tahun yang sama. Pribadinya energik, cukup banyak bicara dan pintar secara akademis. Setelah mengambil jurusan IPA, dia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti dan kini sudah menjadi dokter muda.

Namun malam ini, aku tidak melihat sosoknya seperti itu lagi. Tubuh besarnya terkulai lemas di ranjang Rumah Sakit Royal Taruma. Ketika kupanggil, pandangan matanya bahkan tak mampu mengarah padaku. Lalu butuh beberapa menit hingga tangan kanannya bergerak ke arahku dan sempat kugenggam.

“Hai apa kabar? Masih inget gua? Uda lama kita nggak ketemu...” begitu kataku.

Saat itu wajahnya masih menengok ke kiri dan pandangan matanya tidak terarah. Mamanya lalu membisikkan, “Itu ada temen Victor, namanya Devi. Temen waktu di KY, lagi dijenguk tuh...”

Mamanya bilang, Victor mau hidup lebih baik kalau diberi kesembuhan.
Yah, sembuh...keinginannya kini hanya bisa sembuh, menjalani hidup yang normal dan mendapatkan berkat yang ‘biasa’ bagiku, dia dan kebanyakan orang lain.

Bagi orang sepertiku sekarang, berkat-berkat ‘biasa’ itu bukan hal aneh. Aku tidak merasa perlu bersyukur, bahkan lebih mudah mengeluh. Tapi tidak bagi Victor sekarang. Keinginan hatinya yang paling dalam hanya satu....mendapatkan berkat yang ‘biasa’ itu.

“Semangat ya...jangan menyerah dan terus berdoa...” begitu pesanku sebelum pulang.

“Iya...thank you buat semuanya...” jawab Victor dengan nada aneh dan terbata-bata.

Tuhan memberkatimu Vic...
Percaya, bahwa Dia akan memberikan berkat yang ‘biasa’ itu lagi padamu.


Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, -- maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.


-Feifei-

Monday, September 5, 2011

Blessing...

Hari ini, aku mendadak dapat jadwal liputan halal bihalal Bank Mandiri jam 18.30 WIB. Kata Eko, humas yang sms ke Mba Evi, acaranya adalah pertemuan direksi Bank Mandiri dengan para nasabah utamanya. Misalnya Direktur Utama Telkom, Direktur Utama Unilever, Direktur Utama Garuda Food, dan Direktur Utama Sosro.

Hmm..yang terakhir sangat menarik hati. Maklum saja, Sinar Sosro yang terkenal dengan produk teh botol Sosronya itu, sangat tertutup dan sulit diwawancara.

Jadi, dengan mantap aku melangkah ke Gedung Bank Mandiri di kawasan Semanggi. Tapi tak disangka, acara sangat penuh orang...dan aku tidak tahu, yang mana Dirut Sosro????
Aku bertanya pada Eko, jawabannya..."Aku juga nggak hafal Dev.."
Ok, baiklaaahhhh...-__-"

Akhirnya aku memutuskan berkeliling, mencoba ngobrol dengan orang-orang yang...mungkin saja kebetulan dari Sosro, atau mengenal sosok Dirut Sosro. Aku pun ngobrol dengan Pak Budiman, pemilik perusahaan distributor karet di Palembang dan Jambi, dengan Pak Rico yang adalah Dirut Tunas Ridean. Terakhir, aku mengobrol dengan Ibu Fransiska N Mok, Direktur Commercial Banking Bank Mandiri.

Obrolan yang biasa dan santai itu, membawa Ibu Fransiska bertanya padaku, "Kamu suka nulis biografi nggak? Saya mau membuat biografi ibu saya."
Wah..jujur aku tidak pernah menulis buku, tapi aku bilang padanya aku tertarik untuk menjadi editor jika dia mau.

Usut punya usut, ibunda dari Ibu Fransiska sudah berumur 86 tahun saat ini. Ternyata, upaya membuat buku itu karena sang ibunda merupakan sosok wanita hebat dan tangguh. Bagaimana tidak, ayah dari Ibu Fransiska meninggal ketika usianya 13 tahun. Untuk itu, sang ibunda pun harus berjuang menghidupi dan mendidik 10 orang anaknya hingga dewasa.

Ibu Fransiska sendiri, merupakan anak keempat. Ketika kuliah di Fakultas Peternakan UNPAD (ternyata kami satu alumni), dia harus segera menyelesaikan kuliah dalam waktu lima tahun. Sesudah itu dia bekerja, untuk membantu membiayai enam adiknya.

Melalui perjalanan panjang pula, Ibu Fransiska kini mencapai jabatan Direktur Bank Mandiri, salah satu bank terbesar di negeri ini. Dia pun, sempat bercerita tentang anak sulungnya, yang usianya setahun lebih muda dariku. Anaknya itu, kini sudah bisa mandiri dengan membangun bisnis e-commerce milik sendiri. Dia, bahkan tidak lagi bergantung pada orang tuanya, kendati ibunya merupakan Direktur Bank Mandiri. Ibu Fransiska bahkan sempat menawarkan aku untuk direkomendasikan kepada anaknya, sehingga bisa memulai bisnis bersama.

Wow...aku sebenarnya mau saja. Tapi memang, aku agak takut jika tidak bisa mengatasi semuanya ini. Aku juga takut mengecewakan, karena aku tidak yakin mampu menjalaninya.

Tapi, satu kalimat yang aku ingat dan suka dari Ibu Fransiska..."Kamu yakin saja, asal kamu rajin, pasti bisa sukses kok. Bisnis ini juga bisa kamu jalankan dimana saja, tanpa harus meninggalkan pekerjaan kamu sebagai wartawan."

Asal kamu rajin, kamu pasti bisa sukses....
Kalimat itu hebat rasanya bagiku. Soalnya, aku memang tergolong orang yang suka tidak percaya diri. Padahal sudah begitu banyak berkat yang Tuhan berikan buatku. Salah satunya, pekerjaan baruku di MergerMarket per 19 September nanti. Tapi aku juga sering mudah menyerah dan mengambil tindakan 'malas', suka menunda dan mencari aman.

Ingin sekali menghilangkan semua itu. Caranya...dengan segera bertindak. Huff...semoga aku bisa melawan diriku sendiri.
Bagaimanapun, cerita masa lalu Ibu Fransiska sangat menginspirasiku. BerkatNya tidak pernah pergi atas anak-anakNya. Setiap kerja keras anak-anakNya akan selalu membuahkan hasil melimpah. Begitulah yang kulihat dari kehidupan Ibu Fransiska.


It's a blessing...

and it's nice meeting you Ibu...^^


-feifei-

Monday, August 1, 2011

Mengisi Blog Satu Lagi...

Rupanya aku punya satu account blog lagi....
Tadinya itu akan kubuat menjadi blog catatan-catatan kecilku, tapi terlupakan. Alhasil hanya membuat account dan kutinggalkan begitu saja haha...

Jadi, kuputuskan mengisinya dengan tulisan-tulisanku yang pernah dimuat di Majalah Fortune Indonesia. Tidak semuanya bisa dimuat, hanya beberapa saja dan mungkin tidak update. Soalnya memang kebijakan kami, tidak boleh publish sampai minimal 2 bulan setelah penerbitan.

Sebenarnya rencana ini sudah lama kupikirkan, tapi tidak kulakukan juga. Kebiasaan menunda-nunda ;p Jadi,sekarang aku mau mulai mensortir tulisan-tulisan yang pernah dimuat di Fortune dan kumuat lagi di blogku yang satu lagi. Oh iya, nama blog itu awalnya The Journey of Badak Oengoe, tapi karena jadi wadah memuat tulisan di Fortune kuputuskan berubah menjadi Being a Fortune Woman hehe...lumayan keren juga ;p

Cheers ^^

-feifei-

Sunday, July 31, 2011

TKI oh TKI...

Baru saja membaca postingan berita seorang teman tentang kisah seorang TKI yang dimuat di Kompas.com
Namanya Sri Nawati, warga Desa Karangowo, Kudus, Jawa Tengah. Sejak 2004 lalu, dia pergi mengadu nasib ke Kuwait. Tetapi keberadaannya tidak pernah diketahui sampai detik ini. Padahal kontrak kerja Sri seharusnya sudah habis sejak 2007. Kabar tak ada, uang pun tak pernah dikirimnya...

Masinah, yang juga warga Desa Karangowo, nasibnya sama saja. Dia berangkat ke Arab Saudi menjadi TKI sejak 1999, tapi kabarnya tak terdengar hingga kini. Entah dimana keberadaan mereka.

Baru-baru ini, kabar TKI di Arab Saudi memang santer terdengar. Terutama, Ruyati yang kabarnya mencuat lantaran dihukum pancung, dan Darsem yang hampir dihukum pancung namun terselamatkan lantaran dimaafkan oleh keluarga korban dan didenda Rp 4,7 miliar yang dibayar oleh negara. Ruyati tak terselamatkan, karena tidak dimaafkan oleh keluarga korban. Padahal keduanya sama-sama divonis bersalah karena membunuh meski untuk membela diri dari upaya perkosaan.

Darsem sempat mendapat banyak simpati dan warga pun mengumpulkan dana hingga Rp 1,2 miliar sebelum akhirnya pemerintah membayarkan denda itu. Uang itu terkumpul di stasiun TV One. Setelah Darsem berhasil dibawa pulang beberapa waktu lalu, uang itu diberikan kepadanya secara utuh. Katanya, akan dipakai untuk membangun rumah dan menyumbang ke panti asuhan. Berapa alokasinya masing-masing? Darsem tidak menjawab dan hanya tersenyum, pancaran kebahagiaan dirinya.

Tepat ketika melihat siaran TV yang menayangkan penyerahan dana itu, hatiku bertanya-tanya. Mengapa TV One lalu menyerahkan begitu saja uang itu kepada Darsem? Memang itu hak Darsem, yang awalnya untuk membebaskannya. Tapi mengapa tidak ada upaya bujukan kepada pihak Darsem untuk membuat sebuah wadah diplomasi untuk membantu TKI lainnya yang mengalami nasib serupa??
Jujur saja, seketika itu, aku tak lagi simpati pada Darsem ataupun TV One. Seharusnya, dana itu bisa digunakan untuk mewadahi kasus-kasus TKI yang serupa atau segala hal yang berkaitan dengannya. Toh dana itu dari masyarakat banyak, dan ditujukan untuk membebaskan Darsem, tetapi bukan untuk membuatnya kaya mendadak!!

Entah...mungkin karena latar belakang, tingkat pendidikan atau apa lah maksudnya....
Darsem memang berbeda dengan Prita Mulyasari. Ibu rumah tangga yang terkena kasus lantaran mengirim email protes tentang RS Omni International itu juga mendapat banyak simpati. Gerakan Koin untuk Prita lalu muncul dan menghasilkan uang sebesar Rp 825 juta. Fantastis!!!

Uang itu tadinya dikumpulkan untuk membantu Prita yang digugat denda Rp 204 juta. Tetapi Prita justru mengajukan banding dan bebas tanpa denda. Katanya, supaya uang yang terkumpul tidak terpakai. Setelah itu, Prita menyumbangkan uang itu ke yayasan untuk membantu orang-orang lain yang mengalami kasus serupa. "Untuk membantu 'Prita-Prita' lain," begitu katanya. Meski akhirnya, dana itu lalu dipakai untuk membantu korban Merapi sebesar Rp 800 juta.

Yeah...seharusnya, memang dana tersebut bisa digunakan untuk membantu lebih banyak orang. Terutama yang terkena kasus hukum, atau kasus serupa dengan yang dialaminya lantaran memang biayanya tidak murah.

Seandainya Darsem bisa berpikir demikian...mungkin saja keberadaan Sri Nawati atau Masinah bisa ditelusuri? Soalnya banyak juga TKI yang hilang jejaknya di negeri antah berantah. Walaupun begitu, toh kebanyakan penduduk lapisan bawah masih belum kapok juga. Pemberangkatan TKI masih banyak, meskipun mereka disiksa, tidak diberi gaji, sering hampir diperkosa di Arab Saudi, Malaysia, Kuwait, dll.

Jadi teringat yang dikatakan Djoko Susanto, pendiri jaringan Alfamart. "Daripada banyak yang jadi TKI di luar negeri, lebih baik kerja di sini. Kami mendirikan Alfamart dan menyerap banyak tenaga kerja," begitu katanya.

Padahal, gaji yang diterima sebenarnya tidak sangat jauh berbeda dibandingkan UMR di dalam negeri. Aku masih ingat ketika Siti, adik Fa, pengasuhku waktu kecil, berangkat menjadi TKI ke Singapura. Katanya, gaji yang diterima sekitar satu juta lebih. Seorang mantan TKI lain yang kutemui di Lumajang juga bercerita gajinya sekitar SGD 200-300 di Singapura, yang jika dikurs berarti sekitar Rp 1,4-2,1 juta. Mungkin sekitar 2kali lipat dibandingkan UMR pembantu atau pegawai lulusan SMA di Jakarta. Tapi mereka juga bisa menjadi baby sitter yang gajinya bisa mencapai Rp 1,5 juta per bulan. Setidaknya, mereka tidak disiksa, dan tetap berada di negeri sendiri.

Mungkin gemerlap atau gengsi luar negeri menjadi salah satu yang mereka cari. Bukan hanya uang semata, yang seharusnya bisa didapatkan seandainya pemerintah kita bisa membangun negeri ini dengan lebih baik. Toh kita memiliki semuanya, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang demikian sangat besarnya.

Seandainya saja....

-feifei-